Menulis adalah tentang menyelamatkan pikiran.

Sebelum saya memutuskan untuk menggunakan kalimat diatas sebagai awal dari buku yang sedang anda pegang sekarang, saya sudah merangkai lebih dari 10 puisi yang rencananya akan saya taruh di awal paragraf. Saya sangat ingin agar siapa saja yang membacanya membayangkan sedari awal kalau kisah yang sedang mereka baca akan sangat puitis, sangat sedih, penuh makna atau bahkan sanggup buat mereka meneteskan air mata.
Tapi niat itu saya urungkan kemudian, toh kisah ini bukan cerita antara 2 remaja SMA yang dimabuk asmara yang hidup di tahun 1990 yang tokoh utamanya mengenakan seragam sekolah, mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm, yang dengan penuh percaya diri seperti seorang pegawai catatan sipil yang mengenali semua orang yang pernah mengajukan pembuatan KTP padanya, yang tidak sempat berhenti dan turun dari kendaraanya untuk sekedar bertanya pada remaja putri yang belum pernah sekalipun ditemuinya. "kamu Mila ya?". Bayangkan jika ini terjadi di dunia nyata. Anda akan tahu bagaimana kisah itu selanjutnya.
Nama saya Rumi, Bapak ku memberikan nama itu dengan harapan saat saya dewasa, saya mampu menjadi seorang penyair yang memiliki tingkat kesufian mendekati tingkatan Maulana Jalaluddin Rumi. Itu 25 tahun yang lalu. Dan sampai saat saya menulis ini, tak satupun karya beliau yang pernah saya baca. Bahkan untuk sekedar mencari profilnya di wikipedia saja tak pernah. Satu-satunya hal yang saya tahu adalah namanya.



Dhea